Sebagai makhluk sosial manusia tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya seorang diri. Dia membutuhkan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun sandangnya. Ini berarti, diperlukan sistem agar seseorang bisa mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya dari orang lain dengan tanpa merugikan siapapun. Dalam Islam ada beberapa transaksi yang bisa dilakukan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan manusia, di antaranya adalah jual-beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan gadai. Masing-masing transaksi ini memiliki syarat dan ketentuan tertentu yang disimpulkan (dirumuskan) oleh para Ulama dari berbagai nash (rujukan) yang menjelaskan tentang hal itu, baik dari al-Qur’ân, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun praktek para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Dalam edisi ini, fokus pembicaraan kita adalah masalah jual-beli yang diharamkan. Hukum jual beli yang semula mubâh (boleh) ini bisa berubah menjadi haram, jika salah satu di antara syarat sah jual beli tidak ada atau karena kondisi tertentu saat akad jual beli itu berlangsung.
SYARAT JUAL-BELI
Syarat-syarat keabsahan jual-beli meliputi syarat pelaku akad dan syarat barang.
Pertama, Syarat orang yang melakukan akad jual-beli :
1. Keduanya sama-sama ridha, tidak ada unsur paksaan. Jika salah satu di antara mereka terpaksa, maka akad jual-beli itu tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ’/4:29]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Jual beli itu hanya bisa jika didasari dengan keridhaan masing-masing [HR. Ibnu Hibbân, Ibnu Mâjah dan yang lain] [1]
Kecuali jika alasan pemaksaan itu bisa dibenarkan. Misalkan, seorang hakim yang memaksa orang yang memiliki tanggungan hutang untuk menjual barang-barang yang dia miliki untuk melunasi hutangnya. Maka ini diperbolehkan
2. Orang yang melakukan akad jual-beli itu adalah orang yang berwenang (berhak) melakukannya menurut syariat Islam. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang disebut berwenang jika dia memiliki empat sifat yaitu merdeka, baligh, berakal sehat dan rasyîd.[2] Berdasarkan ini, maka akad yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi kriteria ini dinyatakan tidak sah.
Bagaimana dengan akad jual beli yang dilakukan oleh anak kecil
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah, mengatakan : “Transaksi yang dilakukan oleh orang pandir dan anak kecil itu tidak sah tanpa idzin walinya, meskipun dia sudah remaja, berusia 14 tahun, cerdas dan bagus dalam jual-beli.” Beliau rahimahullah berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla :
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ’/4:6] [3]
Dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, ketika menjelaskan hukum akad yang dilakukan anak kecil, penulis membedakan antara akad yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz (mampu membedakan) dan yang belum mumayyiz. Anak yang belum mumayyiz, jika melakukan akad jual-beli maka akadnya tidak sah. Sedangkan untuk yang sudah mumayyiz, para Ulama’ berbeda pendapat :
Pertama : Jual beli yang dilakukannya tidak sah, baik dengan idzin wali apalagi tanpa idzin. Ini merupakan pendapat syâfi’iyyah juga dibawakan oleh Abu Tsaur rahimahullah
Kedua : Jika wali memberikan idzin, maka akad jual-belinya sah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad, Ishâq, Abu Hanîfah, ats-Tsauriy. Sementara Ibnul Mundzir rahimahullah mengaitkan pendapat Imam Ahmad dan Ishâq dengan barang-barang yang kecil saja.
Ketiga : Boleh meskipun tanpa idzin. Ini adalah riwayat dari Abu Hanifah.
Kemudian penulis mengatakan bahwa pendapat yang râjih tentang hukum transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz yaitu tidak sah. Lalu penulis membawakan dalil yang sama dengan dalil yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah. Kemudian penulis menutup pembicaraan tentang ini dengan menukilkan perkataan Imam asy-Syaukâni rahimahullah dalam As-Sailul Jarâr : “Namun jika anak kecil itu memiliki wali dan walinya mengidzinkan dia untuk melakukan transaksi, maka idzin wali inilah yang dianggap bukan sekedar transaksi ini. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan para wali untuk menuliskan atas nama dia dan Allah Azza wa Jalla mengalihkan transaksi yang dilakukan anak kecil ke walinya. Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekannya, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan jujur. [al-Baqarah/2:282]
3. Pemilik atau sebagai wakil dari pemilik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu :
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu [HR Ahmad, 3/402, 434; Abu Dâwud no. 3503; an-Nasâ’i, 7/289; at-Tirmidzi dalam bab Buyû’, no. 1232 dan Ibnu Mâjah, no. 2187] [4]
Dengan demikian, kalau ada orang yang melakukan akad jual beli pada barang yang bukan miliknya, maka akad itu tidak sah, meskipun yang melakukan transaksi itu seorang bapak pada barang yang menjadi hak milik anaknya.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan: “Jika ada yang berkata: Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Kamu dan hartamu adalah milik orang bapakmu.” Kami katakan : ‘Benar, namun jika seorang bapak hendak menjual harta benda anaknya, maka hendaklah dia memilikinya terlebih dahulu, kemudian setelah menjadi hak miliknya baru dijual.”
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh membawakan sebagian contoh jual-beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki barang yaitu, seorang pembeli datang kepada seorang pedagang untuk mencari suatu barang. Sedangkan barang yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara pedagang dan pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekarang ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik pedagang atau si penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.
Jual-beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, jika barang yang diinginkan itu sudah ditentukan [5]
Kedua : Syarat Barang Yang Diperjual Belikan
1. Barang yang diperjual belikan itu merupakan barang yang secara mutlak boleh dimanfaatkan menurut syari’at dalam segala kondisi. Ini berarti, jual-beli barang yang diharamkan menurut syari’at itu tidak sah. Misalnya jual beli khamr, babi, alat-alat musik, bangkai dan lain sebagainya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأََصْنَامِ
Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung [Muttafaq ‘alaih]
Dalam hadits Abu Daud :
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan khamer dan hasil penjualannya, mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya, mengharamkan babi dan hasil penjualannya. [HR Abu Dâwud, no. 3485, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Juga tidak boleh memperjualbelikan minyak yang najis ataupun yang tercampur najis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah telah mengharamkan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan hasil penjualannya [HR Abu Dâwud dan Ahmad]
Dalam sebuah hadits yang disepakati keshahîhannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ
Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai ? sesungguhnya lemak ini bisa dipergunakan untuk mengecat perahu, melembabkan kulit dan menyalakan lampu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak boleh. Itu barang haram.”
2. Barang yang diperjualbelikan itu bisa diserahterimakan. Karena menjual barang yang tidak bisa diserahterimakan sama saja dengan tidak ada, sehingga tidak sah diperjualbelikan. Misalnya, jual-beli binatang yang lepas, burung di udara, barang yang dirampas, sementara yang memiliki tidak mampu mengambilnya.
3. Barang dan alat tukarnya sudah diketahui oleh dua orang yang melakukan transaksi jual-beli. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan, “Banyak cara untuk mengetahui sesuatu; bisa dengan melihat, mendengar, mencium, mencicipi, menyentuh dan menjelaskan sifat-sifatnya.[6]
Jika terjadi transaksi, padahal salah satu pelaku transaksi tidak mengetahui barangnya atau alat tukarnya, berarti ada ketidaktahuan dan ketidaktahuan (ketidakjelasan) itu adalah gharar. Sementara jual-beli yang mengandung unsur gharar yang berpotensi menimbulkan perselisihan dilarang dalam Islam dan tidah sah. Namun jika unsur gharar (ketidakjelasan-pent) ini sedikit, sehingga tidak berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang, maka jual-beli itu sah.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Larangan jual beli dengan gharar ini termasuk dasar yang penting dari dasar-dasar jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim meletakkan hadits di awal. Yang termasuk dalam jual-beli dengan gharar ini banyak sekali, tidak terhitung, seperti menjual budak yang melarikan diri, menjual sesuatu yang tidak ada, menjual sesuatu yang tidak diketahui (dengan jelas-pent), menjual sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi hak milik si penjual, menjual ikan yang masih dalam air yang banyak, susu yang masih dalam perut, janin yang masih dalam perut induknya, menjual setumpuk makanan yang belum jelas, menjual salah satu kambing (yang tidak ditentukan-pent) yang berada di antara sekelompok kambing, atau salah satu kain (tanpa ditentukan-pent) yang berada dalam tumpukan kain-kain dan yang semisalnya. Semua akad jual-beli ini batal, karena jual-beli dengan gharar yang tidak diperlukan.” [7]
Dalam kitab Al-Majmû’, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Berdasarkan hadits ini, hukum asal dari jual-beli dengan gharar itu batil. Maksudnya jual-beli yang nyata-nyata ghararnya ada, padahal gharar ini bisa dihindari. Sedangkan gharar yang diperlukan serta tidak bisa dihindari, seperti (gharar atau tidak mengetahui-pent) pondasi rumah dan yang semisalnya, maka jual-beli ini sah berdasarkan ijmâ’”[8]
Dengan memahami syarat ini juga kita akan mengetahui ketidakhalalan akad pada barang yang tidak jelas, seperti jual-beli mulâmasah (sentuhan). Misalnya, si penjual mengatakan, “Pakaian manapun yang engkau sentuh, maka engkau bisa membayarnya dengan harga sekian.”
Jual beli munâbadzah, si penjual mengatakan, “Pakaian manapun yang engkau lemparkan kepadaku, maka akan saya bayar dengan harga sekian.”
Dalam sebuah hadits shahîh, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu mengatakan :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli mulâmasah dan jual beli munâbadzah [HR al-Bukhâri, no. 2146 dan Muslim, no. 3780]
Itulah bebebrapa syarat jual-beli, jika salah satu di antara syarat-syarat ini tidak ada, maka akad jual-beli itu tidak sah dan digolongkan ke dalam jual-beli yang terlarang.
JUAL BELI YANG TERLARANG KARENA KONDISI SAAT TERJADI AKAD
Hukum asal dari jual-beli itu adalah mubâh (boleh), berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]
Dan berdasarkan dalil-dalil lain yang menunjukkan jual-beli itu mubâh. Terkadang hukum mubâh ini bisa berubah menjadi sunat bahkan wajib, jika itu satu-satunya cara untuk mewujudkan kemaslahatan. Namun terkadang juga, berubah menjadi haram karena ada persyaratan yang kurang atau terkadang persyaratan jual beli sudah lengkap, namun tetap terlarang dalam syari’at, disebabkan akad jual-beli ini mengakibat si pelaku meninggalkan sesuatu yang wajib atau terjerumus kepada suatu yang diharamkan. Misalnya, jual-beli yang dilakukan setelah adzan shalat jum’at atau menjual suatu yang halal namun si pembeli akan menggunakannya untuk suatu yang diharamkan.
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan : “Allah Azza wa Jalla membolehkan para hamba-Nya untuk berjual-beli selama tidak menyebabkan si hamba meninggalkan atau mengabaikan suatu yang lebih bermanfaat atau lebih penting seperti mengganggu pelaksanaan kewajiban atau menyakiti orang lain.
Oleh karena itu, tidak sah, akad yang dilakukan oleh orang yang berkewajiban melaksanakan shalat jum’at dan dilakukan setelah adzan kedua. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. [al-Jum’ah/62:9] [9]
Beliau juga hafizhahullah mengatakan : “Begitu juga dengan shalat-shalat fardhu lainnya, tidak boleh terlalaikan dari melaksanakan kewajiban-kewajiban ini oleh jual-beli setelah adzan dikumandangkan.”[10]
Beliau hafizhahullah mengatakan : “Begitu juga tidak boleh menjual sesuatu kepada orang yang diketahui bahwa dia akan menggunakannya untuk berbuat maksiat pada Allah Azza wa Jalla atau pada suatu yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu tidak boleh menjual sari buah pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamer, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al-Mâidah/5:2]
Dan ini termasuk menolong mereka.
Juga tidak boleh dan tidak sah menjual senjata pada saat fitnah sedang berkecamuk di tengah kaum Muslimin, supaya tidak dijadikan senjata untuk membunuh kaum Muslimin. Begitu juga hukum menjual berbagai alat perang lainnya pada saat kondisi seperti ini, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al-Mâidah/5:2]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Dalil-dalil syari’at menjelaskan bahwa tujuan dalam akad itu diperhitungkan. Tujuan-tujuan ini dapat mempengaruhi sah atau tidaknya suatu akad, halal atau tidak. Senjata yang dijual oleh seseorang kepada orang yang diketahui akan mempergunakannya untuk membunuh seorang Muslim, hukumnya haram, bathil. Karena dalam penjualan ini terdapat unsur dukungan untuk melakukan dosa dan perbuatan zhalim. Sedangkan jika dia menjualnya kepada orang yang diketahui akan memanfaatkannya untuk berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla , berarti itu adalah sebuah ketaatan dan perbuatan taqarrub. Begitu juga, tidak boleh menjual senjata kepada orang yang memerangi kaum Muslimin atau mempergunakannya untuk merampok. Karena ini termasuk saling menolong dalam maksiat.”
Demikianlah beberapa akad jual-beli yang diharamkan dalam syari’at kita. Semoga bermanfaat, Wallâhu a’lam bisshawâb.
Marâ’ji’ :
1. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Shâlih Fauzân al-Fauzân, Cet. I Dârul ‘Ashimah
2. Asy-Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn, Cet. Dâr Ibnul Jauzi
3. Jamharatul Qawâ’idil Fiqhiyyah Fil Mu’âmalâtil Mâliyyah, DR. Ali Ahmad an-Nadwi
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, no. 2180 dan Ibnu Hibbân no. 4967 (lihat Al-Mulakhhash Al-Fiqhiy, Syaikh Shâlih Fauzân, 2/9)
[2]. Rasyiid maksudnya pandai dalam mengelola harta bendanya, tidak menghamburkannya pada hal-hal yang diharamkan atau pada suatu yang tidak mendatangkan manfaat (Lih. Syarhul Mumti’, 8/110)
[3]. Syarhul Mumti’, 8/110
[4]. Syarhul Mumti’, 8/128
[5]. Dikutip dari Majalah as-Sunnah, 03/IX/1426 H/2005 M, hlm. 4
[6]. Syarhul Mumti’, 8/128
[7]. Syarah Shahîh Muslim, 10/156-157. Lihat Jamharatul Qawâ’idil Fiqhiyyah Fil Mu’âmalâtil Mâliyyah, 1/308
[8]. Al-Majmû’Syarhul Muhadzzab, 9/310-311. Lihat Jamharatul Qawâ’idil Fiqhiyyah Fil Mu’âmalâtil Mâliyyah, 1/308
[9]. Al-Mulakhkhas al-Fiqhi, 2/12
[10]. Al-Mulakhkhas al Fiqhi, 2/12
From : Al-Manhaj.or.id
Visi :-Menciptakan kader umat yang militan Misi : 1. Meningkatkan ketaqwaan dan pengabdian kepada Allah SWT 2. Menciptakan kader yang mampu menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah 3. Mewujudkan kader yang mampu mengaplikasikan Akhakul Karimah dalam kehidupan pribadi, keluarga dan Masyarakat 4. Membina para anggota untuk tekun dalam studi dan mengamalkan ilmu pengetahuan
Thursday, 10 January 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment